Abdurrahman Wahid, Pluralitas dan Pluralisme Agama

25 August 2022

 Anindya Aryu Inayati

Dosen Fakultas Syariah UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan 

Salah satu tokoh istimewa yang sangat konsisten dalam membela hak-hak kaum minoritas dan mengusung kemajemukan adalah Dr. (HC). KH. Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur. Presiden Indonesia ke-4 ini seringkali disebut sebagai Bapak Pluralisme Indonesia karena begitu getol mengangkat tema toleransi dan mengumandangkan bahwa Indonesia adalah milik seluruh elemen masyarakat, tanpa membedakan ras, suku, bahasa, etnik, bahkan agama dan keyakinan. Bagi Gus Dur, Pluralisme adalah menghargai adanya pluralitas yang merupakan Sunnatullah.

Ada sedikit perbedaan definisi pluralisme versi Gus Dur dan pluralisme yang umum dipahami berbagai kalangan akademisi dan pemikir Muslim di seluruh dunia. Jika pluralisme pada umumnya adalah paham yang menyamaratakan seluruh agama, yang artinya bahwa semua agama sama benarnya. Maka Gus Dur dengan tegas membuat batas dari keseragaman terhadap kebenaran seluruh agama. Setiap agama tetaplah paling benar bagi penganutnya. Pluralisme Gus Dur memberikan makna baru yang mengarah kepada pluralitas, yaitu sebagai paham yang mengajarkan untuk menyadari bahwa di luar keimanan terhadap agama, ada keimanan individu lainnya terhadap agamanya. Bagi Gus Dur, Pluralisme mengajarkan kesadaran kepada setiap manusia yang beragama dan terutama Muslim, bahwa ada kemajemukan beragama dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Pembelaan Gus Dur terhadap suatu kelompok minoritas, bukanlah hanya karena mereka berbeda, namun juga membela keadilan. Salah satu pembelaan Gus Dur terhadap hak-hak minoritas terkait etnis Thionghoa pasca terjadinya kerusuhan di tahun 1998. Gus Dur dalam wawasan kebangsaannya, mengakui etnis Thionghoa sebagai suku-etnis yang berkedudukan sama dengan etnis-suku Jawa, Batak, Papua, Arab, India, Jepang dan Eropa yang telah lama bermukim dan menjadi warga negara Indonesia. Etnis Thionghoa juga memiliki hak yang sama sebagai warga negara yang sah, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.

Pemaknaan baru terhadap pluralisme ini, merupakan salah satu representasi ke-Indonesia-an Gus Dur dalam pengamalan pancasila, sila ke-3 dan ke-5. Dimana dengan menjaga keberagaman (pluralitas), Indonesia bersatu sebagaimana sila ke-3. Dan dengan menjaga keberagaman, sila kelima -yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia- dapat terwujud. Meskipun demikian, perbedaan definisi pluralisme versi Gus Dur ini, agaknya tidak banyak dipahami oleh cendekiawan Muslim Indonesia. Sehingga tindakan dan pembelaan Gus Dur terhadap beberapa kelompok minoritas seringkali disalah-artikan sebagai suatu tindakan nyleneh yang kontroversial dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Dari sisi kemanusiaan, KH. Abdurrahman Wahid adalah sosok yang kukuh mendukung kemerdekaan setiap individu untuk dapat menentukan pilihan dan pendiriannya sebagai seorang warga Negara yang sadar dan sekaligus menghormati perbedaan dan kemajemukan Indonesia. Gus Dur adalah seorang Humanis tulen yang demokratis. Ia berkeyakian bahwa Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW adalah Islam yang damai dan membawa rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin). Hingga dalam bidang politik, rahmat dari Islam haruslah dapat dirasakan dan dinikmati oleh seluruh pihak. Sehingga dalam pengantar buku berjudul  Tradisionalisme Radikal (1997) karya Greg Fealy, Gus Dur dengan tegas berpendapat, bahwa tidak ada monopoli kebenaran politik, sebab  kebenaran adalah proses dialektika yang terjadi dari kebebasan berpikir dan berkehendak setiap manusia. Salah satu nilai humanisme yang dikukuhkan Gus Dur adalah sikap saling menghormati, sebab setiap manusia haruslah dihormati apapun latar belakang agama, suku, bahasa dan profesinya. Saling menghormati juga berarti memuliakan orang lain dengan tidak menjatuhkan atau merendahkannya demi meraih sesuatu. Sebagaimana Rasulullah SAW dalam Haji Wada’, menyampaikan pesan humanisme yang juga menjadi salah satu tujuan dari syariat Islam, yaitu menjaga martabat (dignity) manusia.

Fathurrohman dalam salah satu tulisannya bertajuk “Fikih Pluralisme dalam Perspektif Ulama NU” dalam Jurnal Asy-Syir’ah yang diterbitkan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menuliskan bahwa konsep pluralisme Gus Dur setidaknya memiliki 3 dimensi yaitu;  dimensi pemikiran (mind), dimensi perilaku (attitude) dan dimensi tindakan (action). Pada dimensi pertama, yaitu dimensi pemikiran, Gus Dur banyak menuangkan ide mengenai keberagaman (pluralitas) yang merupakan kehendak Allah yang dengan jelas tertulis di dalam Al-Qur’an. Maka Gus Dur mengimbau kepada segenap umat Muslim untuk tidak melakukan homogenisasi dengan menyeragamkan pemahaman ajaran agama dari satu kelompok terhadap kelompok yang lain, sebab tindakan ini justru tidak sesuai dengan spirit Al-Qur’an. Pada dimensi perilaku, Gus Dur aktif melibatkan diri dalam berbagai kegiatan dan forum pro-demokrasi, pendukung Hak Asasi Manusia (HAM) dan komunitas lintas agama. Keterlibatan Gus Dur dalam forum-forum tersebut seringkali mendapatkan stigma negatif dari berbagai pihak yang berpikiran fundamental dan radikal, tetapi tidak menyurutkan langkah Gus Dur untuk merangkul seluruh elemen masyarakat Indonesia, tanpa batas agama, kepercayaan, ras, suku, etnis, budaya, maupun bahasa. Dimensi ketiga, adalah tindakan. Pada dimensi ini, Gus Dur yang sedang menjabat sebagai Presiden ke-4, tanpa ada keraguan mencabut Instruksi Presiden (Inpres) nomor 14 tahun 1967 tentang agama dan adat istiadat Tionghoa, yang kemudian membuka pintu kemerdekaan segenap etnis Tionghoa di tanah air untuk merayakan tahun baru Imlek. Dampak dari dicabutnya inpres ini, tahun 2002 Presiden Megawati Soekarno Putri menjadikan tahun baru Imlek sebagai hari libur nasional. Selain itu, Gus Dur juga aktif terlibat dalam dialog antar agama. Keterbukaannya dan sikapnya yang bersahabat terhadap pemeluk berbagai agama dan keyakinan adalah gambaran nyata dari toleransi beragama dan penghargaan yang tinggi terhadap pluralitas.

Tantangan yang menjadi konsekuensi dari sikap moderat Gus Dur ini, tentu tidaklah ringan. Dia harus menghadapi hujatan dan tuduhan-tuduhan sesat dari berbagai kalangan. Terutama dari kelompok Muslim Konservatif. Namun, tokoh yang lahir dengan nama Abdurrahman ad-Dakhil ini adalah contoh sosok yang konsisten terhadap pemikiran dan perbuatannya. Tantangan tersebut tidak membuatnya goyah. Sebab, bagi Gus Dur, Islam adalah pemersatu bangsa dan pelindung bagi pluralisme masyarakat atau kemajemukan warga negara Indonesia. Islam harus mampu menjawab laju modernitas dengan bersikap toleran, egaliter dan demokratis. Sehingga nilai-nilai Islam yang universal dan esensial dapat menyatu dalam tubuh nasionalisme, meskipun tanpa perlu dibeli label “Islam” atau “Syariah”.

Abdurrahman Wahid dengan konsep pluralismenya dimaknai dengan pengakuan terhadap adanya pluralitas dan kemajemukan beragama, bernegara dan bermasyarakat menjadi representasi dari perpaduan keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan dari seorang pemimpin yang berkarisma dengan kedalaman keilmuan dan pemahaman terhadap hakikat kehidupan.

 

                 
UIN K.H. Abdurrahman Wahid
Kampus 1: Jl. Kusuma Bangsa No.9 Kota Pekalongan 51141
Kampus 2: Jl. Pahlawan Km.5 Rowolaku Kajen Kab. Pekalongan 51161
Telp: +62 (285) 412575
Fax : +62 (285) 423418
Top
We use cookies to improve our website. By continuing to use this website, you are giving consent to cookies being used. More details…