Gus Dur adalah Password

12 August 2022

Mukh. Imron Ali Mahmudi

(Peneliti Diaspora, Alumni Universitas Indonesia, Awarde LPDP S3 Luar Negeri) 

Akhir tahun lalu, saya melakukan penelitian lapangan di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Lasem adalah kota yang multikultural, terdiri dari komunitas masyarakat Tionghoa, Jawa, dan Santri dengan agama yang berbeda pula, yakni Islam, Konghucu, Kristen, Katholik, dan Buddha. Keragaman latar belakang itu membuat saya harus menyesuaikan diri ketika melakukan interaksi dengan masyarakat Lasem. Menariknya, proses penyesuaian itu berjalan mulus selama penelitian dengan 1 password penting, yaitu "Gus Dur".

Dalam dua dekade terakhir ini, model kebangsaan kita seperti masih mencari praktik terbaiknya. Dibukanya keran reformasi membuat berbagai pemikiran baru masuk ke Indonesia. Sayangnya, tidak semua pemikiran itu cocok diterapkan di Indonesia. Di satu sisi, ada berbagai aliran fundamentalis agama yang memaksakan penerapan prinsip-prinsip agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di sisi lain, kelompok sekular yang berusaha menihilkan peran agama dalam kehidupan juga muncul.

Berbagai aliran tersebut seringkali berbenturan --meskipun tidak selalu-- dengan mode keberagamaan (keislaman) dan keindonesiaan manusia Indonesia. Kelompok fundamental misalnya, berusaha melakukan ‘syariatisasi’ hukum mulai dari pemahaman dengan kadar yang bisa diterima sampai level ingin mengganti ideologi negara dengan khilafah karena mereka memahami ‘barangsiapa yang tidak menghukumi sesuai apa yang diturunkan Allah, maka ia berbuat aniaya’ secara letter lijk sehingga menolak hukum apapun selain hukum Islam.

Sementara, kelompok sekular juga berusaha menghadapkan agama dengan negara atau bahkan ilmu pengetahuan (sains). Dalam tahun-tahun terakhir kita seringkali dihadapkan pada pilihan-pilihan aneh seperti, ‘percaya dokter atau ulama?’, ‘pilih salat berjamaah (diasumsikan sebagai perintah agama) atau social distancing (diasumsikan sebagai anjuran pemerintah)?’, sampai pilihan ‘Al Quran atau Pancasila?’. Agama seolah-olah beroposisi biner dengan sains atau dengan negara. Eropa memang punya pengalaman pelik soal agama dan negara tetapi apakah itu berlaku di Indonesia?

Prinsip-prinsip fundamental dan sekular yang demikian itu tentu saja tidak selalu cocok dengan kultur manusia Indonesia yang selama ini berkembang. Indonesia memiliki keragaman suku, etnis, agama, dan budaya. Oleh karena itu, apa yang sudah disepakati oleh founding father dengan model kebangsaan yang berdasar pada pancasila adalah ide terbaik untuk kehidupan bersama di Indonesia. 

Legacy Gus Dur

Yang menjadi pertanyaan, bagaimana kita mempertimbangkan ide-ide kelompok fundamental dan sekular tersebut? Atau, bagaimana kita mempertimbangkan 86% penduduk Indonesia yang beragama Islam? Disini perlu ada penempatan (positioning) agama dan negara yang tepat untuk keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Positioning Gus Dur soal negara dan agama di Indonesia jelas dan masyhur dalam ungkapan ‘Indonesia bukanlah negara sekuler, bukan juga negara agama’. Sulit menemukan lanjutan pernyataan itu kecuali “Indonesia ini negara yang bukan-bukan”. Begitulah celoteh Gus Dur. Pernyataan itu tidak cukup lugas sebenarnya karena kategorisasi soal jenis negara tidak sehitam-putih negara agama dan sekuler. Ada jenis lain seperti, negara dengan satu agama resmi dan negara anti-agama.

Alih-alih terjebak dalam kategorisasi itu, Gus Dur menjawab bagaimana pandangan-pandangannya soal positioning itu. Gusdur menjadi pioner yang merumuskan deklarasi hubungan Islam dan Pancasila. Sebagaimana disampaikan dalam Muktamar NU 1984 yang menjadi tonggak sejarah NU kembali ke Khittah 1926, pada dasarnya, Pancasila itu Islami; tidak bertentangan dengan Islam bahkan sejalan dengan nilai-nilai Islam.

Selain itu, pandangan Gus Dur soal ‘syariatisasi’ hukum nasional juga jelas seperti yang ditulis dalam Kedaulatan Rakyat (Oktober, 2003) bahwa proses itu tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Artinya, ada pemihakan kepada konstitusi dalam proses ‘syariatisasi’ hukum nasional. Dengan kata lain, yang terjadi adalah proses menasionalisasi sebagian hukum syariah. Dengan pandangannya ini, kita jadi semakin jelas pada kadar mana proses ‘syariatisasi’ bisa diterima atau tidak, misalnya dalam kasus penggantian ideologi khilafah. Inilah legacy Gusdur.

Warisan lain dari Gusdur yang juga tak kalah penting adalah soal inklusifitas. Keberpihakannya terhadap minoritas tak perlu diragukan lagi. Salah satu jasa yang paling diingat adalah ketika menjadi Presiden, Gusdur mencabut Inpres No. 14 tahun 1967 yang melarang perayaan agama dan adat istiadat Tionghoa dilakukan di depan umum. Sejak dicabutnya Inpres tersebut, masyarakat Tionghoa bisa menikmati kemeriahan Imlek yang juga menjadi hari libur fakultatif.

Sekelumit laku Gus Dur itu masih bisa kita warisi sampai saat ini. Konsistensi Gus Dur baik dalam kehidupan sehari-hari, dalam situasi ditekan negara maupun saat berkuasa sebagai presiden menunjukkan karakter dominan Gus Dur. Oleh karena itu, wafat sebagai pejuang kemanusiaan adalah legacy Gus Dur yang sangat penting. Berkah (baca: dampak) nya, pemikiran Gus Dur masih sangat relevan, bermanfaat, dan juga diterima masyarakat luas.

Menariknya, inklusifitas Gus Dur itu masih ampuh meskipun beliau sudah wafat. Hal ini riil saya hadapi ketika meneliti Lasem dengan resistensi orang-orang Tionghoa yang diakibatkan sentimen terhadap mereka yang masih kuat. Oleh karena itu, saya tidak cukup mudah untuk masuk ke dalam masyarakat Lasem. Ditambah desain rumah Tionghoa yang cenderung berpagar tinggi, turut mempersulit saya untuk berbaur.

Sebagai orang baru, identitas saya tentu dipertanyakan. Sebagaimana juga pendatang baru yang lain yang patut juga dicurigai—setidaknya diwaspadai—kehadirannya supaya tidak membawa situasi yang destruktif bagi kerukunan masyarakat Lasem. Disinilah keramat gusdur bekerja. Saya kerap kali mengidentifikasi diri sebagai pengikut, atau setidaknya pengagum Gus Dur atau bisa disebut GUSDURian. Identitas itu begitu mudah diterima bagi masyarakat Tionghoa dan kelompok minoritas lain di Lasem, seperti penganut Buddha, Kristen, dan Katholik, apalagi santri.

Nama Gus Dur seperti password. Segala hambatan untuk masuk ke masyarakat Lasem sirna begitu saja ketika saya mengidentifikasi diri dengan nama Gus Dur dengan cara memperkenalkan diri (atau diperkenalkan) sebagai pengagum Gus Dur, memakai kaos bergambar Gus Dur, dan juga membicarakan pemikiran Gus Dur. Mereka menjadi lebih terbuka terhadap saya begitu mendengar kata Gus Dur. Hal itu tentu sangat membantu saya untuk menggali informasi lebih dalam untuk keperluan penelitian.

Terlepas dari itu, disinilah saya kira keramat atau karomah atau legacy Gus Dur yang sangat esensial. Gus Dur meninggalkan legacy untuk keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan yang diterima oleh berbagai kalangan. Apapun yang melekat dengan nama Gus Dur menunjukkan punya visi yang seirama dengannya.

Ketika nama itu melekat pada universitas, spirit perjuangan Gus Dur semoga akan menyala bagi siapapun yang berproses di dalamnya. Oleh karena itu, transformasi kelembagaan IAIN menjadi UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan juga tentu akan menegaskan identitas serta visi universitas yang sesuai dengan apa yang menjadi visi Gus Dur.

Saya kira, berangkat dari Pekalongan, ini juga akan jadi kata kunci yang akan membuka banyak kemajuan positif baik bagi moderasi beragama, kehidupan keindonesiaan yang damai dan inklusif serta kemanusiaan yang bermartabat sebagaimana yang ditinggalkan Gus Dur. Sekali lagi, password nya adalah Gusdur.

 

                 
UIN K.H. Abdurrahman Wahid
Kampus 1: Jl. Kusuma Bangsa No.9 Kota Pekalongan 51141
Kampus 2: Jl. Pahlawan Km.5 Rowolaku Kajen Kab. Pekalongan 51161
Telp: +62 (285) 412575
Fax : +62 (285) 423418
Top
We use cookies to improve our website. By continuing to use this website, you are giving consent to cookies being used. More details…