Gus Dur, Menjulang di Langit Akademik

09 August 2022

Maghfur Ahmad

(Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kelembagaan UIN K.H. Abdurrahman Wahid) 

Perihal nama K.H. Abdurrahman Wahid itu tidak main-main. Nama, memang tidak layak dibuat mainan. Orang tua kita, orang-orang Jawa, termasuk dalam diskursus Islam menganjurkan memberi nama yang baik, keren, dan membanggakan. Bukan sekedar sebagai identitas atau pembeda. Terselip doa, inspirasi, harapan, dan imajinasi-imajinasi masa dapan di balik sebuah nama. Dengan nama besar Gus Dur, “ada spirit, pesan, dan nilai-nilai yang harus diperjuangkan oleh UIN Pekalongan,” pesan bu Nyai Shinta Wahid. Dua kali penulis sowan, 28/12/2022 dan 02/08/2022.

Jargon apa arti sebuah nama, “What’s in a name”? yang dipopulerkan William Shakespeare tidak berlaku. “Mawar tetap saja indah, meskipun tidak diberi nama rose,” kata sastrawan Inggris ini bisa menyesatkan.  Penulis The Tempest itu, menarasikan bahwa nama dianggap sesuatu yang tidak penting. Bagi saya, sebaliknya. Nama sungguh urgen, pokok, dan prinsip. Shakespeare rupanya lupa, bahwa dimana-mana mawar itu berduri. Indah tetapi berpotensi melukai. Bermata dua, mempesona dan sekaligus membahaya. Bagi orang-orang pesimis, sirik dan suka nyinyir lebih senang melihat “duri”-nya. Sebaliknya, pribadi-pribadi yang terbuka dan optimis selalu memandang sisi indah sebuah mawar. Begitu pun respons khalayak dalam membaca nama UIN yang berbasis di pesisir utara ini. Gus Dur, seperti mawar. Indah dan menjadi magnet, tetapi juga ada yang gelisah sebab ‘berduri’. Sebagian kita menilai ada “duri” sektarian, kultus pribadi dan juga dianggap menyebarkan semangat primordialisme. Tentu, sinyal ini menjadi pengingat bagi pengelola kampus.

Baiklah, terkait nama UIN ini, kita tidak pernah bisa mengendalikan pikiran orang lain. Boleh-boleh saja dan hak setiap insan merespons setiap persoalan. Nama UIN K.H. Abdurrahman Wahid sudah final dan resmi, merujuk pada Perpres Nomor 86 Tahun 2022. Muncul pertanyaan, gugatan, dan kekecewaan, tetapi secara umum ada gelombang besar harapan-harapan. Nama adalah hasil pilihan, kebijakan, dan memiliki akar historis yang kuat pada tokoh-tokoh “Nahdliyin” pendiri kampus “Bumiayu,” yang kini menjadi UIN.  Dari masyarakat untuk Negeri. Dari komunitas eksklusif menjadi milik negara yang menganut prinsip setara. Kembali ke nama. Memilih adalah menyisakan. Ada yang terakomodasi, tentu banyak pihak yang sekedar jadi lampiran dan catatan pinggir. Tentunya tidak bermaksud menafikan, menegasikan, maupun menyingkirkan peran dan kontribusi sosok lain. Di sini, berlaku hukum, bahwa sebuah pilihan “tidak pernah bisa memuaskan semua penghuni dunia.” Pekerjaan rumah kita, tentunya meneladani spirit juang Gus Dur di bidang akademik. Ilmu pengetahuan untuk perubahan sosial, demi dan atas nama kemanusiaan.

Sejak pertengahan tahun 2021, lembar-lembar naskah ide, pemikiran, dan gerakan “sang penakluk” telah kita bentang dalam berbagai forum ilmiah. Dari FGD, zoominar, hingga berseminar ria. Dari Prof Nurkholis Setiawan, Prof. Anas Saidi, Kang Sastro, Kang Suedy, hingga Gus Ulil Abshar Abdalla. Dari titik pijak paradigmatik sampai arah dan visi keilmuan UIN. “Gus Dur” adalah lautan kitab. Samudra wacana. Jejak-jejak akademik K.H. Abdurrahman Wahid telah menghiasi ruang angkasa intelektualisme. Reputasi dan ketokohannya membumbung dalam singgasana para ilmuwan. Kampus, lembaga, dan komunitas, baik dalam maupun manca negara telah mentahbiskan K.H. Abdurrahman Wahid dengan berbagai anugerah. Melalui nama Abdurrahman Wahid, UIN Pekalongan sudah selayaknya berkomitmen meneladani, dan lahir batin siap menjadi kampus unggul, seperti harumnya sosok Presiden RI ke-4 dalam pentas kampus dunia. Gus Dur dan ide-idenya telah mengglobal dan meng-internasional.

Berangkat dari dan meniti secara tekun tradisi intelektualisme pesantren, Gus Dur menjadi sosok ilmuwan sosial yang gigih dan mengagumkan. Agamawan yang menyinari umat. Leader yang bertanggung jawab atas persoalan rakyatnya. Berderet-deret penghargaan menjadi bukti atas reputasinya yang tak terbantahkan. Ramon Magsaysay Award Foundation, pada tahun 1990 mengakui kehebatan Kiai asal Jombang dalam bidang Community Leadership. Hadiah ini diberikan untuk mengenang Mantan Presiden Philipina, Ramon Magsaysay. Keteladanan, integritas, kegigihan dalam melayani, idealisme pragmatis dalam pemerintah demokratis. Gus Dur unggul di atas tokoh-tokoh dunia dalam mengelola dan menggerakkan masyarakat, dengan basis pengetahuan dan pengalaman. Pengakuan dunia kampus atas kepemimpinan Gus Dur juga diberikan oleh Columbia University, New York. Universitas kenamaan ini, mengakui leadership cucu pendiri Nahdlatul Ulama, dengan menyematkan “The Global Leadership Award.” (2009).

Pada tahun 1991, pemerintah Mesir memberi anugerah kepada Gus Dur dalam bidang dakwah dan penyebaran, dan pemberdayaan Islam. “Islamic Missionary Award from the Government of Egypt” disematkan pada pundak sang Kiai. Penghargaan ini merupakan peneguhan atas perolehan di tahun sebelumnya (1990), Majalah Editor memberi gelar kepada Wahid sebagai Penggerak Islam. Meskipun Abdurrahman Wahid unggul sebagai penggerak Islam, dalam dirinya juga memiliki pemikiran, penjiwaan, dan pembelaan terhadap kaum minoritas. Konsistensi dalam membela kaum minoritas inilah yang mengantarkan beliau mendapat anugerah dari Mebal Valor di Los Angeles, Amerika Serikat pada tahun 2009. Gus Dur tanpa kenal lelah berjuang dan membela hak-hak dasar kaum Konghucu di Indonesia. Pada tahun ini (2009) mendapat pengakuan dari Simon Wieshenthal Center, New York. Sebuah lembaga yang konsen terhadap penegakan HAM dan toleransi antar umat beragama. Penghargaan-penghargaan itu adalah salah satu wujud dari keberpihan ayahanda Alissa Wahid terhadap kaum marginal. Berpihak, mulai dari kata hati, pikiran, ungkapan, sikap hingga perbuatan.

Pengakuan atas kepakaran, keahlian, dan reputasi Gus Dur sebagai pakar dan intelektual bisa dilihat dari deretan Doctor Honoris Causa. Tahun 2000, Gus Dur memperoleh Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand. Di tahun ini juga beliau mendapat Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand. Tahun 2000 Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris, Prancis. Tak ketinggalan, Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand menyematkan Doktor Kehormatan dan juga dari Universitas Jawaharlal Nehru, India. Sebelumnya, pada tahun 1998 mendapatkan Honorary Degree in Public Administration and Policy Issues dari Universitas Twente, Belanda,

Berikutnya, tidak mau ketinggalan, pada tahun 2002, Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang  memberi Doktor Kehormatan. Tahun 2003 Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel; Di tahun ini pula, memperoleh anugerah Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan, serta Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan (2003). Terkini, Tahun 2021, dari ITS, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, memberi penghargaan Doktor Kehormatan. Dr HC KH Abdurrahman Wahid berjasa dalam perkembangan fakultas teknologi elektro dan informatika cerdas (FTEIC). Penghargaan ini diterima langsung oleh putri ketiga Gus Dur, Anita Hayatunnufus Wahid. Dalam sambutannya, Anita merasa senang, ada kampus berorientasi teknologi dengan moto Advancing Humanity, memajukan kemanusiaan. “Teknologi digital tidak boleh dibiarkan berkembang secara liar, yang dapat menghancurkan sisi kemanusiaan,” paparnya.

Reputasi Gus Dur yang gemilang dan membanggakan tentu menjadi modal sosial dan keteladanan. Keteladan lebih nyaring dari pada khutbah bertalu-talu, lisan al-hal afshah min lisan al-maqal. Kampus kita, masih berada di “zona” negara berkembang. Secara mental, finansial, sumber daya, infrastrukur, dan kultur berada di “blok selatan.” Wajar jika membutuhkan keberkahan-keberkahan dan inspirasi-inspirasi. Butuh studi tiru, studi banding, anjang sana, anjang sini, atau yang kini populer dan agak kekinian yaitu, benchmarking. Perlu membuka diri layaknya karakter orang-orang pesisir, yang inklusif. Namun kita juga perlu sadar diri. Membandingkan kampus kita dengan kampus-kampus Internasional manca negara, atau dengan kampus seperti UGM, UI, atau dengan UIN senior, sungguh butuh kearifan. Lha dengan nama “K.H. Abdurrahman Wahid” tentu ada keberkahan paradigmatik, epistemologis, dan aksiologis. Gur Dur sudah jaminan internasional. Persoalannya adalah, bagaimana langkah-langkah strategis kita mengikuti jejak-jejak keilmuan dan reputasi internasional.

Menapaki manuskrip pemikiran Gus Dur, basis keilmuan yang dikembangkan oleh KH. Abdurrahman Wahid adalah mentautkan rasionalitas dan spiritualitas. Ancangan ini selaras dengan visi keilmuan yang dikembangkan oleh UIN Pekalongan yang berusaha mengharmonisasikan kekuatan akal, indera dan intuisi, agama dan sains, serta tradisionalisme dan modernism. Beliau menempatkan Islam sebagai inspirasi. Sukses mendialogkan Islam dan negara dalam bingkai keindonesiaan yang beragam. Secara aksiologis, Gus Dur melakukan hilirisasi ilmu secara paripurna. Bercondong kepada pihak-pihak yang tertindas, kaum minoritas dan marginal. Berharap dari keberkahan, luberan, inspirasi, dan warisan etos keilmuan Gus Dur, UIN Pekalongan berikhtiar menjadi pusat produksi ilmu pengetahuan yang berpihak. Keilmuan yang menjawab kebutuhan masyarakat. 

Jangan puas sukses bertansformasi menjadi UIN secara administratif. Tetaplah bergerak kawan, kalau engkau tidak ingin membeku dan membatu. Kata teman-teman Makassar, ”Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai,” K.H. Abdurrahman Wahid sudah menjadi nama kampus kita, pantang rasanya mengkhianati etos keilmuan dan perjuangannya. Gus Dur telah menjulang di menara gading keilmuan, mengakar di bumi kemanusiaan. Kini giliran UIN Pekalongan mengepakkan sayap-sayap visi-misinya, menghujamkan akar “khidmah” keummatanya. Sambil tersenyum, ku-bisiki isteri mudaku satu-satunya, “sekali jangkar hatiku berlabuh, pantang kapal bertaut ke lain hati.” Malam itu, 16 tahun pernikahanku, sungguh “dunia milik kita berdua, aku dan kau.” Wassalam.

 

                 
UIN K.H. Abdurrahman Wahid
Kampus 1: Jl. Kusuma Bangsa No.9 Kota Pekalongan 51141
Kampus 2: Jl. Pahlawan Km.5 Rowolaku Kajen Kab. Pekalongan 51161
Telp: +62 (285) 412575
Fax : +62 (285) 423418
Top
We use cookies to improve our website. By continuing to use this website, you are giving consent to cookies being used. More details…