TOA: Toleransi dan Semangat Keberagamaan

01 March 2022

Oleh: Dr. Ali Muhtarom, M.H.I.

Niat baik tidak selalu mulus, demikian kata saya saat ada pertanyaan dari salah seorang kawan terkait berita ‘TOA’ beberapa hari belakangan ini.  Masyarakat dibuat heboh oleh pemberitaan media atas respon Surat edaran Meteri Agama Republik Indonesia Yaqut Cholil Qoumas yang dikeluarkan tanggal 18 Februari 2022 lalu. Surat edaran bernomor 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan pengeras Suara di Masjid dan Musala ini terdiri dari empat bagian yakni pendahuluan, maksud edaran, ketentuan umum dan penutup.

Dari empat bagian ini, jika dicermati secara seksama tidak ada kalimat yang secara sepesifik melarang Adzan menggunakan pengeras suara, fokusnya hanya pengaturan penggunaan pengeras suara di Masjid dan musala saat mengumandangkan azdan dan aktifitas keagamaan lainnya. Sesungguhnya aturan ini sangat diperlukan di dalam kehidupan masyarakat Indonesai yang heterogen ini, dalam rangka mewujudkan keharmonisan antar warga. Aturan tentang pengeras suara ini tidaklah yang pertama, karena pada Tahun 1978 sudah dikeluarkan aturan itu, yang mengeluarkan itu dari Dirjen Bimas Islam Kemenag RI saat itu. Masih ingat beberapa peristiwa yang bermula dari (salahsatunya) persoalan pengeras suara di tempat ibadah. Data yang pernah diliput oleh sindonew.com Ada Meliana, kasus ini berawal dari protes Meiliana terhadap suara azan yang menggema di Masjid Al Maksun pada 29 Juli 2016, hingga berakhir pada perusakan rumah dan tempat ibadah. Kemudian Sayed Hasan di Aceh, hingga artis Zaskia Mecca.

Indonesia sebagai negara yang memiliki banyak suku dan agama sudah selayaknya menjaga persatuan dan kesatuan. Tidak bisa dipungkiri bahwa perbedaan sangat mudah atau rentan memunculkan konflik. keragaman sebagai fakta yang tidak bisa dihindari harus dihormati. Ini menjadi tantangan kita bersama untuk saling menjaga keragaman ini agar keadaan harmonis antar sesama golongan dan umat beragama dapat dipelihara dan terhindar dari konflik yang tidak seharusnya terjadi. Indonesia tidak hanya milik satu kelompok atau agama tertentu. Indonesia adalah milik kita bersama, milik orang-orang Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan lain sebagainya. Semua golongan memiliki arti penting dan peran yang sama dalam berpartisipasi dan menciptakan suasana harmonis dalam berkeagamaan. Inilah yang harus dipahami dan menjadi tanggungjawab kita bersama untuk merawat, menjaga, dan memupuk sikap toleransi yang lebih tinggi sekaligus sikap pluralis agar masa depan Indonesia terhindar dari konflik fanatisme antar golongan yang itu akan merusak tatanan sosial dan diharapkan lebih mampu menjaga perdamaian sesama umat.

Toleransi merupakan suatu sikap atau perilaku manusia yang mengikuti aturan, di mana seseorang dapat menghargai, menghormati terhadap  perilaku orang lain. Istilah toleransi  dalam konteks sosial budaya dan agama berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok atau golongan yang berbeda dalam suatu masyarakat, seperti  toleransi dalam beragama,  di mana kelompok agama yang  mayoritas dalam suatu masyarakat, memberikan tempat  bagi kelompok agama lain untuk hidup di lingkungannya. toleransi antarumat beragama merupakan suatu sikap untuk menghormati dan menghargai kelompok-kelompok agama lain. Konsep ini tidak bertentangan  dengan Islam. Islam sebagai agama rahmatallil ‘alamin menjunjung tinggi konsep saling menghargai dan menghormati antar sesama.

Sesungguhnya Al-quran sudah memberikan spirit dalam mengajarkan sikap toleransi, misalnya dalam QS. Al-Mumtahanah: 8. Artinya: Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adi.

Ayat tersebut menginformasikan kepada semua umat beragama, bahwa Islam tidak melarang untuk membantu dan berhubungan baik dengan pemeluk agama lain dalam bentuk apapun, selama tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan ibadah mahdhah (ibadah wajib), seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya. Konsep seperti ini telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw bagaimana berkomunikasi secara baik dengan orang-orang atau umat non-Muslim.

Di sisi lain, menurut azumardi Azra, Agama hadir dalam diri manusia sepanjang sejarah eksistensinya di muka bumi, agama juga hadir berdasarkan kebutuhan yang amat manusiawi, paling tidak dari segi emosional manusia itu sendiri. Sehingga sebagai orang yang beragama tentu meyakini bahwa agama yang ia anut sepenuhnya untuk kebaikan dirinya, pemenuhan kebutuhan spiritualnya, sekaligus juga sebagai jalan kebahagiaan di dunia ini dan bekal keselamatan di akhirat kelak. Kesadaran ini selain diyakini sebagai tujuan orang beragama, juga dapat dibahasakan sebagai komitmen keagamaan. Sementara itu, semangat keagamaan dapat dilihat sebagai bentuk praktik dari masing-masing penganut agama yang melibatkan hubungan orang perorang atau kelompok-kelompok dalam masyarakat dalam bentuk ekspresi keagamaan.

Ekspresi ini dalam batas-batas tertentu tampak yang utama dalam setiap aktivitas keseharian masyarakat.  Kerenanya kemudian semangat keagamaan menjadi domain publik dan dalam praktiknya memerlukan toleransi, nilai etis, bahkan regulasi yang disediakan pemerintah guna mengatur lalu lintas ekspresi keberagamaan umat beragama. Apalagi, ada perbedaan antara ghirah keagamaan atau semangat keberagamaan dengan nafsu. Menurutnya semangat beragama mendorong seseorang untuk terus memperdalam pemahaman agama dan memperkuat keimanan. "Sementara nafsu hanya melahirkan fanatisme buta yang justru menjauhkan akal sehat yang diperlukan untuk beragama dengan baik. Demikian menurut Gus Mus dalam satu tulisan di akun sosial media beliau.

Nah, Di sinilah menurut saya letak urgensi surat edaran Surat edaran bernomor 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai budaya, mari kita respon dan kita sikapi dengan baik dan bijak upaya positif dalam rangka mewujudkan keharmonisan dalam kehidupan beragama di masyarakat.

Kita meyakini bahwa selain mengajarkan kebaikan, Islam juga mengajarkan kebaikan itu harus dilakukan dengan cara-cara yang baik. Mengajak orang lain ibadah itu sangat baik, namun demikian ajakan itu pun harus dilakukan dengan cara-cara yang baik. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan pengeras suara atau mikrofon di tempat ibadah seperti masjid dan mushalla.

Wallahu Muwafiq Ila Aqwamit Thariq

                 
UIN K.H. Abdurrahman Wahid
Kampus 1: Jl. Kusuma Bangsa No.9 Kota Pekalongan 51141
Kampus 2: Jl. Pahlawan Km.5 Rowolaku Kajen Kab. Pekalongan 51161
Telp: +62 (285) 412575
Fax : +62 (285) 423418
Top
We use cookies to improve our website. By continuing to use this website, you are giving consent to cookies being used. More details…