Print this page

Gus Dur, Salafisme dan Dilema Ortodoksi Beragama

19 August 2022

Ahmad Khotim Muzakka

Dosen di Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah,

UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan 

Dalam kata pengantarnya untuk Ilusi Negara Islam (2009), KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah memberikan penjelasan tentang eksistensi beberapa organisasi masyarakat yang tidak sejalan dengan para tokoh nasionalis-religius dalam mempertahankan bangunan kebangsaan NKRI. Bagi Gus Dur, orang-orang yang mampu menerima perbedaan kemajemukan adalah pribadi-pribadi yang terus berupaya berkontribusi pada kemanfaatan publik, yang disebut masuk dalam kategori jiwa-jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah).

Berbeda dengan al-nafs al-muthmainnah tersebut, beberapa organisasi masyarakat, di antaranya Gus Dur menyebut Darul Islam, berupaya mengubah negara bangsa menjadi negara agama, mengganti ideologi negara Pancasila dengan gagasan Islam versi mereka untuk kemudian menjadikan khilafah Islamiyah sebagai penggantinya. Wanti-wanti Gus Dur ini tidak terlepas dari upaya aktivis garis keras yang terus berjuang mengubah Islam dari agama menjadi ideologi. Dalam tahap ini, siapapun yang berbeda pandangan keagamaan dengan mereka akan dianggap melawan Islam versi mereka sendiri.

Pada saat yang bersamaan, mereka juga menolak anasir budaya dan tradisi yang telah menjadi bagian integral dalam kehidupan bangsa Indonesia dan berupaya menjadikan budaya dan tradisi Timur Tengah sebagai opsi pengganti hanya dikarenakan ketidakmampuan membedakan agama dari kultur tempat Islam diwahyukan. Penolakan atas anasir budaya lokal ini dapat berimbas terhadap penerimaannya terhadap gagasan kenegaraan dan instrument yang membangun negara tersebut termasuk di dalamnya konsep negara demokrasi dan turunannya.

Ortodoksi keagamaan Islam transnasional di Indonesia ini tidak bisa dibiarkan melenggang seenaknya sendiri menentukan nasib keberagama(a)n Indonesia. Kita tidak sepatutnya berdiam diri mematung seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Kewaspadaan mesti dibangun di level individu semua warga negara yang tentunya perlu disokong oleh organisasi keagamaan yang telah lama berkomitmen untuk kemajuan bangsa dan negara. Bagi mereka yang masih ragu perlu dirangkul dan disadarkan bahwa gerakan dan ideologi yang mereka perjuangkan tidak senafas dengan perjuangan pluralitas bangsa Indonesia, yang dalam waktu bersamaan menghargai perbedaan itu sendiri.

 

Muara Teror

Ditangkapnya Komisi Fatwa MUI Ahmad Zain An-Najah oleh Densus 88 karena diduga terlibat dalam aksi terorisme sebenarnya tidak terlalu mengejutkan lantaran MUI sudah lama mendapat sorotan terkait sikap dan respons atas berbagai permasalahan keagamaan yang terjadi di Indonesia. Pandangan ini setidaknya dikonfirmasi oleh Moch Nur Ichwan dalam tulisannya bertajuk Toward A Puritanical Moderate Islam: The Majelis Ulama Indonesia and The Politics of Religious Ortodoxy” (2013).

Menurut Moh Nur Ichwan, pasca pemerintahan Suharto, Majelis Ulama Indonesia melakukan transformasi menjadi orientasi ke-Umat-an. Berdasarkan orientasi ini juga MUI dianggap lebih cenderung mencerminkan aspek Islam Puritan di tengah fakta Islam Indonesia. Gejala keagamaan ini yang oleh Martin van Bruinessen disebut sebagai “conservative turn”, yakni gejala keagamaan (sebagian) muslim yang mengartikulasikan paham keislamannya mengarah pada konservatisme. 

Hal ini dikarenakan Islam moderat yang puritan sekalipun berpeluang mengarah pada Islam radikal yang puritan. Atas dasar itu pula, ditangkapnya anggota MUI seperti mengkonfirmasi kemungkinan tersebut. Apalagi, sebagai organisasi yang menjadi rujukan umat Islam di Indonesia dalam hal fatwa, MUI tidak terlepas dari kontestasi berbagai macam pemikiran di dalamnya, antara lain tradisionalis, modernis, puritan, dan radikal.

Noorhaidi Hasan dalam artikelnya “Transnational Islam, Violent Activism, and Cultural Resistence” (2018: 246) menggambarkan bahwa terjadinya intensifikasi globalisasi membuat Indonesia mudah terimbas gagasan Islam transnasional, yakni gerakan yang secara agresif mempropagandakan pemurnian pemamahan keagamaan yang rigid sebagai “anak kandung” salafisme. Meskipun secara umum, muslim Indonesia dikenal karena jalan akomodatif dan toleransinya yang ditempuh terhadap lokalitas dan keberagaman.

Salafisme, yang secara genealogis dapat dilacak terinspirasi gagasan pemurnian Islam yang digagas oleh Muhammad ibn Abdul Wahhab lebih berfokus pada penguatan keimanan dan moralitas, bermuara pada pemikiran para pendahulunya, antara lain Ahmad ibn Hanbal, Ahmad ibn Taymiyya, dan Ibn Qayyim al-Jawziy. Dalam perkembangannya, salafisme terbagi menjadi tiga kelompok, pertama; purists, yang sangat berfokus pada pemurnian Islam dan menolak aktivisme politik, kedua; politicos, yang politis dan mengkritik rezim penguasa, dan ketiga; jihadits, yang berkeyakinan mengenai urgensi Jihad untuk memperjuangkan Islam. 

Membuka Peta

Pasca lengsernya rezim Soeharto, perhatian publik Indonesia dikejutkan dengan aktivitas salafisme yang mulai dikaitkan dengan jihadisme yang bengis. Dalam lintasan sejarah tercatat, sebagaimana dijelaskan oleh Noorhaidi, aktivisme jihad tersebut diwujudkan ketika Ja’far Umar Thalib membentuk Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada 1999 dan mendorong resolusi muslim Indonesia untuk berjihad di Maluku, yang berjibaku dengan konflik komunal antara Kristen lokal dan Muslim. Tercatat sebanyak lebih dari 7.000 pejuang berangkat ke Maluku untuk menunaikan aksi jihadnya. Dalam gerakan ini, Laskar Jihad dan Laskar Mujadihin—yang terhubung dengan Darul Islam dan Jama’ah Islamiyah—memobilisasi masa untuk bergabung ke Maluku.

Sebagai kelompok salafisme terkuat dalam lanskap politik Indonesia pasca-Soeharto, tertangkapnya anggota Jamaah Islamiyah ini menandai babak baru jihadisme kelompok ini. Adalah bahwa kelompok yang memiliki pertautan historis dengan Darul Islam ini semakin menegaskan eksistensinya yang dibuktikan dengan kemampuannya melampaui batas budaya dan politik yang mapan dan berhasil menembus lingkungan baru. Tidak mengherankan jika Jamaah Islamiyah dianggap sebagai kelompok yang paling gencar menaburkan ideologi jihadi salafi di nusantara.

Keterkaitan Zain an-Najah sebagai Dewan Syura Jamaah Islamiyah (JI) tentu membuka peta ideologi jihadi salafi yang ternyata mampu menembus ruang kultural dan struktural yang dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ruang keagamaan di Indonesia. Tentu, hal ini menjelma dilema bagi keberagamaan kita, mengingat bahwa MUI memerankan peran cukup vital dalam arus diskursif wacana agama, di samping dua organisasi terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Infiltrasi anggota JI ke tubuh MUI ini menjadi bukti sahih bahwa mereka sanggup melampaui batas budaya dan politik serta dapat merasuk dalam organisasi yang jauh lebih mapan dan memiliki pengaruh dalam lanskap kebudayaan dan keagamaan di Indonesia. Dengan demikian, sudah seharusnya, berkaca dari penangkapan ini mestinya bisa membunyikan alarm kewaspadaan terhadap segala kemungkinan terjadinya ideologisasi jihadis transnasional karena dapat mengancam masa depan wajah kebudayaan Indonesia.

 

We use cookies to improve our website. By continuing to use this website, you are giving consent to cookies being used. More details…