Print this page

Seri Kedua Desiminasi Hasil Riset Gender, Perempuan, dan Anak Usung Tema Kekerasan Tak Pandang Gender

11 December 2021

Pekalongan (11/12) – PSGA IAIN Pekalongan melanjutkan Desiminasi Hasil Riset Gender, Perempuan dan Anak seri kedua pada Kamis, 25 November 2021. Desiminasi hasil riset seri kedua ini bertemakan tentang “Kekerasan Tak Pandang Gender: Menyoal Isu Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Perilaku Seksual Beresiko Mahasiswa”.

Sebelumnya pada tanggal 16 November 2021 telah dilaksanakan seri pertama. Acara desiminasi yang kedua ini dilakukan dengan menggunakan media zoom meeting yang dihadiri kurang lebih 190 peserta dari pukul 12.00 sampai dengan 16.00 WIB.  Peserta yang hadir berasal dari berbagai kalangan, yaitu: praktisi, dosen, mahasiswa, ibu rumah tangga, guru, Bappeda, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kab dan Kota Pekalongan, komunitas jaringan PSGA PTKIN, hingga pegiat gender eksternal.

Narasumber sekaligus pembahas adalah Dr. K.H. Faqih Abdul Qadir, Lc., selaku founder Mubadalah.id dan Dr. Dini Rahmawati, M.Pd., yang berasal dari ABKIN Jawa Tengah. Adapun hasil riset yang dibahas pada seri kedua ini berjudul “Gender Aware Therapy Berbasis Mubadalah dalam Merajut Keharmonisan Keluarga pada Pelaku dan Korban KDRT” oleh Cintami Farmawati, M.Psi., dan “Kecenderungan Perilaku Seksual Beresiko di Kalangan Mahasiswa: Kajian atas Sexual Attitude dan Gender Attitude” oleh Ningsih Fadhilah, M.Pd.

Acara ini diawali dengan pembukaan, kemudian dilanjutkan dengan sambutan oleh Ketua LP2M IAIN Pekalongan Dr. Imam Kanafi, M.Ag. yang menyatakan antusiasmenya dengan acara ini. Imam berharap kegiatan serupa bisa diadakan dan dilanjutkan dengan bidang-bidang lain yang ada di IAIN Pekalongan guna memacu dan meningkatkan standar mutu pendidikan tinggi Islam. Selanjutnya sambutan oleh Ketua PSGA IAIN Pekalongan, Ningsih Fadhilah, M.Pd., yang menjelaskan bahwa fenomena kasus kekerasan terhadap perempuan saat ini sangat penting untuk dipahami bersama, baik untuk dicegah maupun ditangani secara lebih komprehensif.

“Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa, kekerasan seksual ini banyak ragamnya, bisa kekerasan seksual secara fisik, verbal maupun kekerasan secara virtual/online. Tetapi yang jelas apapun dan bagaimanapun bentuk dari kekerasan seksual, hal itu sangat merugikan bagi para korbannya. Baik bagi korbannya sendiri, maupun keluarganya. Karena dampak trauma dari kekerasan itu akan lama sekali bahkan seumur hidup,” ungkap Ningsih Fadhilah sekaligus mempromosikan ULT Setara (Unit Layanan Terpadu) IAIN Pekalongan. Selain menayangkan profil ULT Setara, Ketua PSGA juga berharap dapat membantu para korban kekerasan dan lainnya sehigga di IAIN Pekalongan bisa menjadi model penanganan dan pendampingan hingga terciptanya mubadalah bagi semua pihak.

Kemudian acara dilanjutkan dengan presentasi dari kedua pemateri dan dibahas oleh narasumber. Faqih Abdul Qodir dalam penjelasannya mengenai keharmonisan rumah tangga menyebut, keluarga perlu diperkuat atas tiga fondasi utama bangunan keluarga maslahah yakni muadalah (keadilan), mubadalah (kesalingan), dan muwazanah (keseimbangan) terdapat dinding. Sementara yang membuat dinding tersebut bisa berdiri lantaran ada pilar penyangganya. Pilar di dinding perlu di topang dengan perspektif zawaj, dalam perspektif ini, pasangan suami istri diibaratkan seperti sandal jepit. Jika kanan berada di depan maka sisi kiri mesti memiliki posisi di belakang, begitu pula sebaliknya.

Maka relasi suami istri harus seimbang dalam menjaga perannya, jangan saling menghakimi atau menyalahkan, mitsaqon gholidzhon (perjanjian agung). Perspektif ini dapat dimaknai sebagai janji kokoh bahwa perkawinan jangan sampai diremehkan dan dirubuhkan karena akad di hadapan Allah, ada pilar ketiga yaitu mu’asyarah bil ma’ruf (hubungan yang baik). Perspektif ini berbicara soal bagaimana berperilaku baik yang ternyata menjadi salah satu pilar dalam sebuah keluarga. Salah satunya adalah dengan saling memperlakukan dengan baik.

Pilar mu’asyarah bil ma’ruf ini kemudian bersambung dengan pilar selanjutnya (keempat), taradhin atau keridhaan. “Taradhin ini jangan diletakkan pada kita menuntut orang lain atau anggota keluarga lain untuk ridha kepada kita, tetapi kita mengendalikan diri kita supaya anggota keluarga yang lain ridha terhadap diri kita. Lalu, supaya taradhin ini bisa tercapai maka ada pilar (kelima), musyawarah yang menjadi alat dari perwujudan muadalah, mubadalah, dan muwazanah dalam fondasi bangunan keluarga maslahah tadi,” jelas Founder Mubadalah.id yang mengutip dari pendapat Alissa Wahid selaku Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian. Faqih abdul Qodir juga menjelaskan bahwa perspektif kemaslahatan juga sangat penting dalam menjaga keharmonisan keluarga, serta menjaga suasana jiwa keluarga dengan sakinah, mawaddah, dan warohmah.

Selanjutnya, narasumber kedua dari pengurus Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia (ABKIN) Jawa Tengah Dr. Dini Rakhmawati, M.Pd. yang lebih fokus menjelaskan perilaku seksual beresiko remaja serta kekerasan seksual. Menurutnya dua hal tersebut adalah berbeda, namun keduanya sangat penting untuk dilakukan advokasi yang baik kepada remaja dan mahasiswa untuk tidak terjebak dalam situasi yang membelenggu dirinya sehingga masuk dalam pergaulan seksual beresiko bahkan kekerasan seksual. “Ada beberapa langkah preventif untuk tidak terjebak dalam dua hal diatas diantaranya menunda pacaran sebelum menikah, perbanyak belajar agama/perkuat religiusitas, mencari tempat kos yang “aman”, berkumpul dengan teman-teman yang soleh dan perbanyak kegiatan positif,” jelas Dini Rakhmawati.

Di akhir acara, pengurus ABKIN Jawa tengah ini menjelaskan poin-poin yang perlu mendapatkan perhatian dari Permendikbud No 30 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Menurutnya tujuan mulia dikeluarkanya permendikbud nomor 30 tahun 2021 ini adalah sesuatu yang penting, genting, segera, dan sudah seharusnya kita dukung, bukan untuk diperdebatkan. Kemudian  pasal-pasal yang masih multitafsir dan menimbulkan perdebatan sebaiknya dapat dikaji ulang sehingga esensi tujuan peraturan tersebut dapat tercapai dengan baik.

“Dan terakhir yang harus kita pahami bersama bahwa Permendikbud nomor 30 tahun 2021 hanya mengatur tindak kekerasan seksual di perguruan tinggi bukan perilaku seksual beresiko atau persoalan etika secara personal. Ketika ini adalah kekerasan, maka frase “Tanpa Persetujuan Korban” memang sudah selayaknya untuk dilekatkan menjadi jantung dari bentuk kekerasan itu sendiri,”pungkas Dini. Maka dari itu, segala bentuk perbuatan apapun yang dilakukan dengan paksaan atau tanpa persetuan orang tersebut/korban adalah bentuk kekerasan dan pidana secara hukum. Secara umum, diskusi berjalan dengan hangat, antusias dan menarik.


Reporter   : Fitri Kurniawati dan Ningsih Fadhilah

Editor       : Dimas Prasetya

Redaktur   : Humas Bagian Umum

 

We use cookies to improve our website. By continuing to use this website, you are giving consent to cookies being used. More details…