Print this page

Tanggapi Maraknya Kasus Kekerasan Seksual, Pemateri Diskusi Gender Sebut Dua Faktor Ini Sebagai Penyebabnya

12 May 2023

Pekalongan (12/05) – Kasus kekerasan seksual seringkali timbul dari dua faktor utama, yaitu adanya penyalahgunaan relasi kuasa, serta budaya patriarki yang tinggi. Hal tersebut disampaikan oleh Iqbal Kamalludin M.H., selaku pembicara pada acara Lapak Diskusi Gender ke-2 yang diadakan di Lt.1 GPT pada Kamis (11/05/2023).

Lapak Diskusi Gender diinisiasi oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Studi Gender Mahasiswa UIN Gus Dur. Mengangkat tema "Studi Kasus Kekerasan Seksual: Bagaimana Cara Mencegah dan Menanganinya?", acara ini diikuti oleh puluhan mahasiswa dari berbagai fakultas yang ada di UIN Gus Dur. Selaku pemateri pada acara ini yakni dosen muda Fakultas Syariah UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan Iqbal Kamalludin M.H.  

Diskusi dibuka oleh sambutan Ketua UKM SIGMA UIN Gus Dur Muhammad Bilal. “Dari tahun ke tahun, angka kekerasan seksual cenderung meningkat, perlu langkah pencegahan dan penanganan yang tepat, agar kasus kekerasan seksual dapat ditekan, baik di tingkat nasional, maupun di lingkungan sekitar kita termasuk di kampus tercinta kita, UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan," sebutnya.

 

 Puluhan Mahasiswa Mendengarkan dengan Seksama Paparan Materi yang disampaikan oleh Iqbal Kamalludin

 

Berlanjut pada sesi materi, Iqbal Kamalludin menyampaikan, selama ini korban kekerasan seksual banyak menimpa perempuan walau juga terdapat korban kekerasan dari pihak laki-laki. Hal ini biasanya terjadi karena dua faktor utama, yaitu karena adanya penyalahgunaan relasi kuasa dan karena adanya budaya patriarki yang tinggi.

“Relasi kuasa dan budaya patriarki ini biasanya karena ada hubungan yang tidak seimbang, ada satu pihak yang secara posisi lebih tinggi dan ada yang lebih rendah. Ada yang secara “kekuasaan” lebih tinggi dan yang lain ditampilkan kurang berdaya. Dan ini bisa terjadi di mana saja termasuk di dunia kampus,” ujar Iqbal pada sesi materi.

Adapun bentuk kekerasan seksual bukan saja berupa pelecehan seksual namun juga dapat berupa penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, hingga pemaksaan sterilisasi. Selain itu, kekerasan seksual juga dapat berlaku dalam dunia siber -Kekerasan Berbasis Gender Siber, red- seperti pelecehan siber dan mengirim gambar/kata berbau porno.

“Dampak kekerasan seksual terhadap korban yang paling parah adalah korban mengalami trauma seumur hidup dan juga mendapatkan stigma negatif dari lingkungan sekitar. Dampak kekerasan seksual tidak hanya terhadap individu, tetapi juga terhadap keluarga, masyarakat, dan negara. Jika korban tidak terpulihkan secara optimal, dipastikan para korban tidak akan maksimal berperan aktif dalam pembangunan nasional,” imbuh Iqbal.

Dalam sesi diskusi, Afifah, mahasiswa Fakultas Ushuludin Adab dan Dakwah menyatakan pendapatnya mengenai fenomena kekerasan seksual yang sering terjadi di masyarakat, “Korban kekerasan seksual seringkali justru dinikahkan dengan pelaku kekerasan seksual, ini menjadi realita namun keputusan itu tidaklah hal yang tepat dan justru memperparah kondisi,” sebutnya.

Diskusi berjalan dengan antusias dengan berbagai pertanyaan dan pandangan tentang kekerasan seksual. Peserta diskusi kemudian dibagi ke dalam tiga kelompok kecil yang memperdalam kelemahan apa saja yang saat ini perlu diperbaiki dalam penanganan kekerasan seksual. Kelompok pertama, mendiskusikan peraturannya, kelompok kedua mendiskusikan sturktur dan instansi dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual, dan kelompok tiga mendiskusikan pembangunan budaya hukum dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual.

Pada ujung diskusi, rekomendasi diberikan di antaranya untuk memperbarui aturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang berbasis keadilan, beserta ketegasan dalam implementasinya. Rekomendasi kedua adalah terkait kebutuhan integrasi internal kampus dengan pihak dan instansi profesional terkait, untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual. Adapun rekomendasi terakhir adalah perbaikan budaya anti kekerasan seksual, melalui berbagai sarana, seperti membentuk buku saku anti kekerasan seksual, maupun sosialisasi yang masif.


Penulis      : Dimas Prasetya

Editor         : Iqbal Kamalludin

Redaktur    : Humas Bagian Umum

We use cookies to improve our website. By continuing to use this website, you are giving consent to cookies being used. More details…