Gus Dur dan Dinamisasi Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi

11 August 2022

 

 Muhammad Jauhari Sofi

(Dosen Komunikasi Lintas Budaya UIN K.H. Abdurrahman Wahid)

Abdurrahman Wahid (selanjutnya disebut Gus Dur) adalah sosok yang kompleks. Gus Dur lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren. Kakeknya adalah seorang pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi sosial-keagamaan terbesar di Asia. Ayahnya adalah salah seorang founding father di Republik Indonesia dan sekaligus menjabat sebagai menteri agama pertama. Silsilah Gus Dur terhubung hingga ke raja-raja Jawa di masa lalu. Masa remajanya banyak dihabiskan di lingkungan pesantren guna mempelajari literatur klasik keislaman. Di banyak ceramahnya, Gus Dur sering kedapatan menyitir pandangan para ulama klasik dan syair-syair dari kitab kuning, sebagaimana biasa dilakukan oleh orang-orang pesantren.

Meski tumbuh di lingkungan pesantren, bacaan Gus Dur remaja tidak terbatas hanya pada literatur klasik keislaman. Ia juga melahap buku sastra, filsafat, logika, pemikiran, dan teori sosial. Gairah Gus Dur akan ilmu pengetahuan ditunjukkannya dengan melakukan rihlah intelektual ke Mesir, Iraq, Eropa, hingga Kanada. Di negara-negara tersebut, ia dikabarkan banyak menghabiskan waktu di perpustakaan dan mengunjungi pusat-pusat ilmu pengetahuan. Tak heran, Gus Dur menjadi sosok yang sangat dihormati di kalangan cendekiawan muslim Indonesia, utamanya di lingkungan NU. Dengan kekayaan wawasan yang dimiliki, Gus Dur seringkali menawarkan cara pandang alternatif dan melampaui zamannya.

Tulisan ini ingin sedikit memotret gagasan Gus Dur tentang dinamisasi pemikiran Islam dan relevansinya terhadap pengembangan keilmuan di perguruan tinggi. Sebagaimana diketahui, Gus Dur adalah pionir dalam pembaharuan (tajdid) pemikiran Islam di tanah air, khususnya di tubuh NU sebagai organisasi Muslim tradisional. Ia mampu menggabungkan dua tradisi pemikiran sekaligus, yaitu tradisi Timur sebagai buah dari interaksinya dengan dunia pesantren dan tradisi Barat sebagai buah dari persinggungannya dengan ilmu pengetahuan modern model Eropa. Dengan dua tradisi pemikiran tersebut, Gus Dur hadir dengan gagasan-gagasan yang segar dan mengejutkan. Gagasan itu dipegangnya secara konsisten sebagai prinsip dalam mengambil keputusan dan kebijakan.

Dinamisasi pemikiran Islam adalah suatu upaya menginterpretasikan kembali doktrin-doktrin keislaman sedemikian rupa sehingga mereka secara lebih dinamis dapat merespon persoalan kontemporer umat Islam. Gagasan ini, misalnya, tampak dari maraknya kontekstualisasi kitab kuning di kalangan Muslim tradisional, terutama sejak Gus Dur menahkodai NU dari tahun 1984 hingga 1999. Pembacaan secara kontekstual atas warisan intelektual Islam masa silam ini mampu mengantarkan generasi muda NU ke sebuah gerbang moralitas baru, yaitu kemerdekaan berijtihad. Banyak generasi muda NU yang belakangan sangat fasih berbicara isu-isu modern, seperti demokrasi, pluralisme (penerimaan atas kemajemukan), keadilan gender, dan sebagainya, dari perspektif Islam. Agenda kontekstualisasi kitab kuning ini senafas dengan ajaran Islam yang diyakini shôlih li-kulli zamân wa al-makân (relevan di setiap waktu dan tempat).

Dinamisasi pemikiran Islam juga terlihat dari wacana pribumisasi Islam yang dicetuskan oleh Gus Dur. Dengan pribumisasi, umat Islam di Indonesia diharapkan tetap menghargai budaya dan kearifan lokal. Kehadiran Islam di bumi Indonesia tidak dimaksudkan untuk memusuhi nilai-nilai lokal dengan dalih bid’ah, tetapi untuk berselaras dan saling melengkapi. Islam datang untuk mewarnai keragaman budaya lokal. Dengan demikian, pribumisasi Islam ini bertolak belakang dengan proyek arabisasi yang dikampanyekan oleh sebagian umat Islam di Indonesia. Menurut Gus Dur, Islam tidak perlu diidentikkan dengan budaya Arab. Sejauh tidak menyangkut keimanan dan ritual formal, umat Muslim di Indonesia tidak perlu mengikuti produk budaya yang khas bagi bangsa Arab, seperti berjubah, bercadar, berjenggot, dan berbahasa Arab dalam keseharian. 

Belajar dari Gus Dur

Semangat melakukan dinamisasi pemikiran Islam sebagaimana dicontohkan oleh Gus Dur sangat relevan dihadirkan di dunia perguruan tinggi. Dinamisasi pada intinya adalah proses beradaptasi di tengah arus perubahan zaman dalam rangka memperoleh hal-hal terbaik untuk kemaslahatan umat. Dalam hal ini, pengembangan kajian keislaman di perguruan tinggi perlu menimbang aspek kontekstualitas dan membumi. Kontekstual artinya, ilmu keislaman yang diajarkan dan dikembangkan semestinya tidak terlalu dogmatis. Dogmatisme hanya akan melanggengkan budaya taklid dan berlawanan dengan semangat ilmu pengetahuan itu sendiri. Membumi artinya, ilmu keislaman di perguruan tinggi perlu mengakomodir kearifan lokal sebagaimana telah dimandatkan dalam kaidah ushul fiqh al-‘âdah muhakkamah (kebiasaan hidup suatu masyarakat dapat dijadikan sebagai landasan hukum).

Lebih lanjut, dinamisasi pemikiran Islam di perguruan tinggi mensyaratkan pendekatan keilmuan yang multiperspektif. Multiperspektifitas akan meluaskan pandangan seseorang dalam menyikapi suatu persoalan dan memungkinkannya melihat lebih banyak alternatif atau jalan keluar. Selain itu, kita juga perlu menghidupkan nalar kritis dan skeptis (meragui), yaitu sikap tidak menerima begitu saja pernyataan orang lain. Seseorang yang telah dididik di perguruan tinggi sebaiknya selalu memeriksa dan memeriksa kembali pernyataan tertentu sebelum menerimanya sebagai suatu informasi yang akurat.  Semangat mendialogkan ilmu-ilmu agama dengan sains (ilmu alam dan ilmu sosial) juga perlu semarakkan. Baik ilmu agama dan sains harus diarahkan untuk kemaslahatan manusia dan kemanusiaan.

Menarik untuk diingat bahwa pengembangan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) selama beberapa dekade terakhir dimulai dan didominasi oleh pembukaan jurusan tadris yang mengajarkan mata pelajaran umum seperti fisika, kimia, matematika, bahasa, dan ilmu-ilmu sosial modern. Meski kebijakan ini adalah mandat dari kementerian, ilmu-ilmu agama dan sains di PTKIN perlu diharmonisasikan. Hal ini karena ilmu agama (faith) memiliki karakteristik yang berbeda dari sains (fact). Yang berbeda ini tidak mungkin disatukan. Penyatuan antara ilmu agama dan sains adalah konsep yang semu dan cenderung palsu. Namun demikian, keduanya masih bisa didialogkan untuk mendatangkan lebih banyak kemanfaatan. Sains tanpa ilmu agama adalah buta; ilmu agama tanpa sains adalah lumpuh. Demikian bunyi aforisme yang dipopulerkan oleh Albert Einstein.

Dalam konteks IAIN perubahan bentuk lembaga menjadi UIN Pekalongan perlu menilik gagasan dinamisasi pemikiran Islam. Memang, secara umum agenda perubahan bentuk lembaga ini adalah untuk turut menyukseskan tujuan pendidikan Nasional di level perguruan tinggi, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan keterampilan hidup, serta meningkatkan mutu kehidupan manusia. Namun demikian, sebagai lembaga berlabel Islam, UIN Pekalongan juga mengemban tanggung jawab sebagai duta Islam. Oleh karena itu, lembaga ini harus mampu menghadirkan wajah Islam yang humanis, kontekstual dan membumi di tengah masyarakat. UIN Pekalongan perlu membangun sistem pendidikan yang integralistik dan komprehensif untuk merespon tantangan global.

Dinamisasi pemikiran Islam seperti diuraikan di atas bisa dimulai dari penguatan khazanah ilmu-ilmu keislaman seraya tetap bersikap terbuka terhadap realitas sosial. Penguatan ini penting agar para sarjana Muslim kita tidak kehilangan legitimasi saat berhadapan dengan masyarakat yang kian beragam. Ketika mewacanakan kontekstualisasi kitab kuning dan pribumisasi ajaran Islam, secara pribadi Gus Dur sudah mahir membaca kitab kuning dan memahami inti ajaran Islam.

 

                 
UIN K.H. Abdurrahman Wahid
Kampus 1: Jl. Kusuma Bangsa No.9 Kota Pekalongan 51141
Kampus 2: Jl. Pahlawan Km.5 Rowolaku Kajen Kab. Pekalongan 51161
Telp: +62 (285) 412575
Fax : +62 (285) 423418
Top
We use cookies to improve our website. By continuing to use this website, you are giving consent to cookies being used. More details…