Merdeka Belajar Ala Gus Dur

23 August 2022

Mochammad Najmul Afad

UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

Sekitar tahun 2020, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi Republik Indonesia meluncurkan sebuah kurikulum baru yang diberi nama Kurikulum Merdeka Belajar. Pada ranah kampus, kurikulum ini mengguanakan istilah “Merdeka Belajar Kampus Merdeka”. Kurikulum yang memberikan seluas-luasnya kebebesan mahasiswa atau peserta didik untuk belajar di manapun dengan siapapun dengan konsep yang diusung oleh Menteri Pendidikan pertama yakni Ki Hajar Dewantara “Semua adalah Guru dan Semua adalah Murid”.

Kurikulum ini konon kabarnya memberikan angin segar bagi semua pihak kampus agar bisa lebih dekat dengan masyarakat. Setidaknya terdapat delapan paket bentuk kegiatan Merdeka Belajar Kampus Merdeka ini yakni pertukaran mahasiswa, magang/praktik kerja, asistensi mengajar di suatu satuan pendidikan, penelitian/riset di suatu instansi/ institusi, melakukan proyek kemanusiaan, kegiatan wirausaha, studi/proyek independen, atau membangun desa/kuliah kerja nyata tematik.

Berpijak dari kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka tersebut, saya teringat sebuah cerita tentang sosok kaum santri yang nyentrik dalam hidupnya termasuk dalam proses belajarnya yakni KH. Abdurrahman Wahid. Dari beberapa sumber yang saya temukan, Gus Dur pernah belajar ke Kairo bersama teman seletingnya yakni KH. Mustofa Bisri atau akrab dipanggil Gus Mus. Namun sayangnya, Gus Dur di sana bukan menyelesaikan bangku kuliahnya melainkan ia berjalan-jalan, bekerja dan tidak meninggalkan kebiasaannya yakni membaca buku.

Di usia mudanya, usia yang hari ini sering dikenal dengan usia bucin alias budak cinta, dihabiskan oleh Gus Dur bukan dengan mengagumi seorang perempuan, melainkan ia memilih pacaran dengan buku. Dagelan Gus Dur yang terkenal ialah, “orang yang meminjamkan buku ialah orang bodoh. Lebih bodoh lagi orang yang mengembalikan buku”. Kalimat ini menjelaskan bahwa Gus Dur seorang yang getol membaca. Puluhan buku dilahap Gus Dur sehingga ia mahir beberapa bahasa. Sosok Gus Dur bukan hanya seorang santri yang hobi mengaji melainkan beliau juga gemar menulis. Tak heran, buku-buku berisi guyon alias dagelan Gus Dur terus mengalir tebit dan masih laku di pasaran, selain buku-buku ilmiah atau kajian serius. Modal inilah yang kemudian melekat dalam diri Gus Dur saat menduduki posisi penting, Ketua PBNU misalnya, bahkan menjadi Presiden.

Literasi yang kuat, belajar dengan siapapun dan kapanpun serta dalam kondisi apapun menjadikan ia dewasa yang anti mainstream dalam mengambil langkah kebijakan. Dengan demikian, publik tidak bisa mengikuti dan membaca apa maunya Gus Dur. Maklum saja pikirannya jauh dari manusia rata-rata. Hal demikian bisa kita lihat dalam kunjungan Gus Dur selama ia menjadi presiden ke beberapa negara. Lawatan Gus Dur dinilai oleh oposisi merupakan kegiatan tamasya keliling dunia. Padahal sudah jelas, kaum santri tidak mengenal jalan-jalan, yang mereka kenal ialah silaturrahim dan ziarah. Gus Dur menyambangi pemimpin-pemimpin dunia sebagai langkah turut serta perdamaian dunia. Ia tahu dengan disowani, dan dialog dari urusan kecil hingga kemaslahatan bisa diselesaikan. Bahkan saking uniknya Gus Dur menggunakan pendekan humor.

Tidak jarang diplomasi yang sebetulnya dijadwalkan hanya beberapa menit saja kemudian saking asyiknya bertambah menjadi berjam-jam. Suasana cair demikian tentu tidak sembarang orang bisa lakukan. Walhasil pemimpin dunia pun segan dengan Indonesia. Bahkan sekelas Barisan Serbaguna (Banser) salah satu badan Nahdhatul Ulama’ turut kecipratan barokahnya.

Dikisahkan pada suatu “operasi khusus” Banser yang notabene hanya masyarakat sipil ini diterjunkan ke Papua yang tengah terjadi konflik Tolikara. Di tengah jalan mereka bertemu dengan segerombolaan masyarakat Papua yang dibekingi dengan pemberontak. Terjadilah ketakutan yang luar biasa pada Banser ini. Mereka hendak “dihabisi”. Namun, beruntung saat itu banser menyebut dirinya sebagai “Pasukannnya Gus Dur”. Saat itulah tiba-tiba suasana cair. Mereka tidak menembaki Banser melainkan memeluknya karena menganggap sebagai saudara. 

Kampus, Gus Dur dan Kebermanfaatan

Seyogyanya Institut Agama Islam Negeri Pekalongan yang akan berganti nama menjadi Universitas KH. Abdurrahman Wahid ini banyak belajar dari Gus Dur, khususnya dalam konsep Merdeka Belajar Kampus Merdeka. Sekalipun kedepan kurikulum akan berubah namun semangat merdeka belajar perlu diusung dalam rangka keberpihakan pendidikan kepada stakeholder pendidikan. Gus Dur, sosok pemelajar yang boleh saja disebut sebagai intelektual organik yang belajar dan menyelesaikan persoalan harian dan ngeroot (membumi).

Sekalipun Gus Dur merupakan cucu dari pendiri organisasi Islam terbesar di dunia Nahdhatul Ulama yakni Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy‘ari, ia tidak gemagus jumawa atas status sosial yang mau tidak mau melekat dalam dirinya. Sekalipun menjadi presiden, Gus Dur tetap membuka istana presidennya untuk publik. Siapa saja bisa sowan (silaturahmi) bahkan hingga larut malam. Kebiasaan demikian hanya ada di eranya Gus Dur.

Gus Dur selain belajar di pesantren ia juga berteman dengan masyarakat dari agama lain. Dialog antar agama inilah yang menjadi solusi atas problem kebinekaan yang kerap mengancam Indonesia. Hingga saat Gus Dur meninggal dunia, bukan hanya masyarakat muslim saja yang berduka cita melainkan juga dari agama lain turut merasa kehilangan. Bahkan batu nisan Gus Dur tertulis “Di sini Berbaring Seorang Pejuang Kemanusaan” dalam empat bahasa, bahasa arab, inggris dan mandarin. sebuah legacy yang diturunkan oleh Gus Dur kepada masyarakat Indonesia bahkan dunia bahwa keberpihakan menjadi penting dalam setiap langkah kebijakan. 

Mengutip buku Sekolah itu Candu karya Roem Topatimasang, ia menyatakan bahwa sekolah berasal dari kata school, scole, scolae yang dalam bahasa yunani kuno berarti waktu luang. Pada zaman dulu sekolah diartikan bukan bangunan tempat belajar manusia dengan bangku, papan tulis dan “seabrek” perlengkapan belajar lainnya. Sekolah diartikan sebagai waktu luang. Seorang ayah mengajak anak laki-lakinya untuk ke kebun, sementara Ibu mengajak anak perempuannya belajar memasak. Lambat laun orang tua mulai kerepotan dengan pekerjaan dan tanggungannya sehingga mereka menitipkan anaknya kepada orang yang dianggap pandai dalam suatu hal. Dari sinilah kemudian muncul sebuah lembaga yang dinamakan sekolah.

Jika UIN KH, Abdurrahman mengikuti semangat Merdeka Belajar ala Gus Dur, tentu mahasiswanya tidak puas dengan materi yang ia dapatkan hanya di bangku kuliah semata. Mereka akan mencari dan membuat ruang-ruang belajar di luar jam kuliah. Mahasiswa bukan sebatas mencari nilai antara A hingga E semata, melainkan nilai yang telah terkonversi dalam bentuk kebermanfaatan di masyarakat. Sama juga dengan dosen dan tenaga pendidikannya yang selalu update dengan masa. Dengan demikian pembelajaran bukan sebatas normatif mengulang narasi belajar saja, melainkan memerdekakan dosen dan mahasiswa. Pembelajaran yang membuka ruang diskusi dan menyelesaikan persoalan masyarakat secara langsung sehingga tidak ada jarak antara kampus dengan masyarakat. Dengan demikian, lulusan dari UIN KH. Abdurrahman Wahid bukan sebatas sarjana yang ahli di bidangnya saja, melainkan mengilhami sosok Gus Dur yang alim, plural, cerdas, dan juga selalu membela minoritas yang bermakna bagi masyarakat. 

 

                 
UIN K.H. Abdurrahman Wahid
Kampus 1: Jl. Kusuma Bangsa No.9 Kota Pekalongan 51141
Kampus 2: Jl. Pahlawan Km.5 Rowolaku Kajen Kab. Pekalongan 51161
Telp: +62 (285) 412575
Fax : +62 (285) 423418
Top
We use cookies to improve our website. By continuing to use this website, you are giving consent to cookies being used. More details…